Mengalami Amerika (27): Amerika “Ndeso”

Oleh: Api Sulistyo

Amerika masuk dalam kategori negara maju. Apakah setiap daerah mengalami kemajuan yang sepadan? Sebetulnya tidak juga lho. Ada kota-kota besar yang menjadi tanda jaman modern seperti New York, Chicago, San Francisco, dan Lost Angeles. Lalu daerah yang ‘ndeso’ di negara maju itu seperti apa?

Cerita ini terjadi pada hari Sabtu, tanggal 7 Oktober lalu. Cuaca masih hangat dan musim gugur menyuguhkan pemandangan yang asri. Air di danau masih terasa sejuk dan segar. Pada akhir pekan itu salah satu anak kami, David Sulistyo, yang duduk di kelas 2 SMA, mengikuti lomba marching band bersama tim sekolahnya. Kompetisi berlangsung di kota Sioux Falls, di negara bagian Dakota Selatan (South Dakota). Tentu saja saya dan istri saya tidak mau kehilangan kesempatan untuk menjadi supporter bagi tim kami, Eastview High School Marching Band.

Seperti yang biasa kami lakukan waktu bepergian, kami ke Sioux Falls lewat jalan darat. Jarak sekitar 390 Km kami tempuh dalam waktu sekitar empat jam. Tim marching band kami akan pentas jam 3:30 sore. Sebelum jam 9:00 pagi kami sudah berangkat dari rumah kami di Minnesota. Daripada melewati jalan tol antar propinsi, kami memilih jalur luar kota melewati kota-kota kecil dan kalau perlu bisa berhenti. Setelah menikah dan punya anak, kesempatan untuk bisa berdua menjadi semakin langka. Sebetulnya hanya ingin bisa ngobrol leluasa tanpa ada interupsi dari anak-anak. Dalam kesempatan seperti inilah kami bisa membicarakan hal-hal penting dalam hidup perkawinan tanpa anak-anak di sekitar kami.

Setelah dua jam nyetir kami tiba di sebuah kota kecil bernama Saint James. Tiba-tiba istri saya, Tami, mendesak, “Ayo kita berhenti di kota ini. Exit di sini. Ayo makan siang!” Setengah teriak. Serta merta kukurangi laju mobil dan bisa keluar dari jalan utama. Sambil perlahan menuju pusat kota Saint James, istri saya menilpun seseorang.

“Halo Kristi kamu ada di rumah?”“Halo…. Saya di Saint James.” Jawab Kristi.

“Wah bagus. Saya di Saint James juga. Kami mau makan.” Terus ada diam sebentar.

Rupanya Kristi mengira bahwa kami akan ke rumahnya untuk makan. Padahal maksud istri saya itu kami akan makan di kotanya dan mengharap dia bisa bergabung dengan kami. Kristi dan istri saya pernah kerja di kantor yang sama dan mereka cukup akrab.

Kota Saint James kecil sekali dikelilingi oleh lahan pertanian terutama jagung dan kedelai. Sebelum ada jalan raya, kota ini dihubungkan dengan daerah lain oleh jalan kereta api. Menurut sensus tahun 2016, jumlah penduduknya 4,447 orang saja dan sebagian besar tinggal di daerah pertanian. Ternyata satu-satunya tempat makan di kota ini adalah McDonald. Keluarga kami terutama anak-anak kami tidak mau diajak makan di McDonald. Katanya makanannya kurang sehat. Tapi karena tidak ada pilihan lain hari itu, kami berdua  pergi ke McDonald.

Wah, ternyata tempat ini penuh sesak. Hampir semua tempat duduk terisi. Setelah pesan makanan kami mendapatkan tempat di salah satu sudut restoran. Kebanyakan pengunjung berusia lanjut. Mereka mengamati gerak-gerik kami. Kiranya mereka tahu bahwa kami orang luar. Apalagi saya satu-satunya bukan kulit putih.

Howard sedang mencari foto-foto keluarganya untuk ditunjukkan kepada kami.

“Kalau saya tanya apakah mereka mengenal Kristi, berani taruhan mereka pasti tahu,” bisik istri saya. Diapun memulai percakapan dengan seorang bapak yang duduk di dekat kami. “Oh ya kami kenal Kristi. Dia anggota gereja kami,” jawab lelaki yang sudah lanjut tapi banyak energi ini. Saya kira dia memperkenalkan diri dengan nama Howard. Dari sudut ruang lainnya kami dengar, “Rumahnya di belakang First Bank, warna hijau.” Terasa benar suasana masyarakat desa di kota ini. Howard juga bercerita banyak tentang anak-anaknya yang sudah pergi meninggalkan kampung halaman untuk membina keluarga mereka. Dia berprofesi sebagai tukang kayu. Saya amati tiga jari tangan kirinya tidak ada. Mungkin terpotong saat menggunakan alat pertukangannya.

Setelah makan kami sempatkan mengunjungi Kristi. Orang yang ramah dan banyak ketawa. Seakan taka da beban dalam hidupnya. Dia di rumah sendiri karena anak-anaknya sudah pergi dan saat itu suaminya sedang melatih tennis di SMA tempat kerjanya. Kristi bercerita banyak tentang bagaimana masyarakat saling mengenal. Mereka sering meluangkan waktu bersama. La kok mirip kehidupan ndesoku di Klaten, Jawa Tengah. Ya sekalian buka kartu saja, saya memang wong ndeso. Kristi bahkan mengundang kami di lain waktu untuk datang menginap dan merasakan kehidupan di “ndeso”nya Amerika.

Saya tidak sabar lagi menunggu untuk bisa menginap di rumah Kristi. Saya berjanji akan mempersiapkan sate daging sapi untuk dia dan suaminya. Dia pernah merasakannya ketika dia datang ke rumah kami di musim panas. Saint James hanyalah salah satu contoh “ndesonya” Amerika. Di ndeso-ndeso inilah sering saya temukan sisi berbeda wajah asli kehidupan masyarakat Amerika.

Bagian samping rumah Kristi yang terletak di belakang bank.

Jalan dan trotoar di depan rumah Kristi.

Kami melanjutkan perjalanan kami ke Sioux Falls, South Dakota.

 

Copyright@2017StoryLighthouse. All Right Reserved.

2 thoughts on “Mengalami Amerika (27): Amerika “Ndeso”

  1. Menarik Mas. Neng ndeso Klaten ana McDonald gak ya? Mesti akes sing ra doyan hehe pada karo aku.

    In Cruce Salus

    YB Rosaryanto, O.S.C. Canons Regular of the Order of the Holy Cross Via del Velabro 19 00186 Rome Italia

    >

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s