Jejak Langkah Awalku

Ditulis oleh: Antonius Dewagara Yudo Prihartono

8 Juli 2020

 Gagal Jadi Kondektur

Setelah lulus SMA tahun 1988, karena tak bisa kuliah, saya pernah melamar jadi kondektur bus, sebuah perusahaan oto bus besar di Salatiga. Tetapi lamaran saya ditolak. Saya ketemu langsung dengan Direkturnya, diantar sahabat saya yang adalah kerabat dekat dengan Direktur tersebut. Beliau menolak justru karena dia kasihan pada saya. “Eman-eman Dik, pergaulan di terminal itu keras…dsb…” kilahnya.

Saya pulang dengan sedih, tetapi di sini saya justru mendapatkan hikmahnya. Lalu saya beli buku-buku dan belajar mempersiapkan diri ikut UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Saya tidak pernah ikut les-les atau try out yang sangat populer dan ramai saat itu karena memang tidak punya uang. Saya hanya beli buku-buku atau foto copy bahan-bahan dan belajar mandiri setiap hari hingga jam 24.00 saya baru tidur. Bener-bener saya sepanjang hari sampai larut malam saya belajar.

Oya, selain itu saya juga rajin doa Novena 3 Salam Maria, pagi dan malam, tiap hari sepanjang tahun itu. Setahun kemudian, tepat pada hari ulang tahun saya: 20 Juli 1989, adalah hari pengumuman UMPTN, dan nama saya tercantum menjadi salah satu orang yang diterima di Fakultas Hukum UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret). Inilah hadiah ulang tahun yang paling indah dari Tuhan, yang menjadi awal dan tonggak baru hidup saya. Bahagia luar biasa saat itu. Sungguh-sungguh luar biasa rasa bahagia saat itu. Ini adalah salah satu moment terbaik dan terindah dalam hidup saya.

Jadi, gagal jadi kondektur atau ditolak jadi kondektur bus, tidak harus hilang semangat hidup, karrna ternyata Tuhan ingin saya kuliah saja, dan akhirnya diterima di FH UNS. Diterima kuliah di FH UNS tapi, hati jadi sedih lagi karena biaya masuk saat itu Rp. 450.000,- dan saya tidak punya uang sama sekali.

Hutang Budi yang Belum Terbalas

Walaupun hidup saya ini selain ditolak-tolak, tetap saja ada yang perhatian and memberikan pertolongan. Salah satunya ketika untuk bayar biaya awal itu, akhirnya saya dibantu Pakde ku Rp. 150.000,- dan Rp. 300.000,- dari orangtua ku.  Aku merasa punya hutang budi pada Pakde ku itu, tetapi Beliau sudah tiada, sebelum melihat saya sampai pada titik ini.

Selain itu, tentu yg lebih besar adalah peran orangtuaku, yang dalam keterbatasaan selalu berusaha memberikan uang saku seminggu sekali untuk ongkos naik bus dan uang tiap semesternya.

Saya tidak kos. Saya pulang pergi naik bus, tiap pagi dan siang/sore pulang.

Kos di Solo terlalu mewah bagi saya. Saya ikut Budhe dan Nenek, tinggal di sebuah rumah sederhana, berlantai tanah, berdinding anyaman bambu. Rumah tua.

Singkat cerita, akhirnya awal 1995 saya wisuda menjadi sarjana hukum. Seorang teman berbaik hati bisa meminjami dan nganter saya naik mobil kijang saat wisuda dan didampingi oleh orangtua.

 

A Yudo Prihartono, SH, MH, MM

Karyawan swasta, Advokat dan Hipnoterapis Klinis, tinggal di kaki gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s