Dituliskan oleh Api Sulistyo
Lewat Facebook Messenger kukirimkan pesan kepada sahabat dekat saya Tiwi (Pratiwi Hikmawati). Saya sudah mengenal Tiwi selama lebih dari sepuluh tahun. Persahabatan kami menjadi semakin dekat karena Tiwi bergabung dengan Pusaka Jawa Band sebagai salah satu lead singer kami. Sosok Tiwi yang selalu ramah meriah dan memiliki ‘can do attitude’ sering menjadi motivator bagi kami. Karena kedekatan ini saya sebagai seorang kristiani memberanikan diri untuk mengirim pesan kepadanya.
“Halo Tiwi. Semoga kamu sekeluarga sehat dan baik-baik. Mau tanya nih. Bolehkan aku nulis tentang pengalamanmu menjalankan puasa di Amerika? Aku cuma punya satu pertanyaan; sebutkan tiga perbedaan utama antara berpuasa di Indonesia dan berpuasa di Amerika?”
Gayung bersambut. Tumbu oleh tutup. Pesan saya langsung dijawab dan dia bersedia berbagi pengalamannya. Jadi tulisan ini adalah bagian dari pengalaman Tiwi, yang asli kota Pahlawan, Surabaya, Ja-Tim dalam menjalankan ibadah puasa di Amerika. Mungkin ada lebih banyak perbedaan, tapi ada tiga hal yang dia sampaikan.
“Bedanya yang terasa sekali: pertama, kalau di Indonesia sangat terasa ibadah puasanya karena ada musik-musik keliling yang membangunkan untuk sahur. Ada para penjual makanan di jalanan untuk berbuka. Kami nunggu jam buka puasa sambil duduk-duduk bersama keluarga, tetangga, teman dan lain-lain. Kami juga saling kirim makanan pembuka puasa/takjil antar tetangga dan bisa sholat Tarawih bersama setelah buka puasa.”
Sehubungan dengan makanan, Tiwi juga mengatakanh, “Kedua, makanan beda sekali. Kalau di Indonesia makanan mewah dan bervariasi sekali pada bulan Ramadhan. Apalagi dessertnya, mulai dari dawet, kurma, aneka rujak sampai dengan kue-kue seperti Kastangel, Lidah Kucing, dan Nastar. Semua tersedia di meja setiap hari. Dia sini harus bersusah payah dahulu, itupun rasanya belum tentu seperti makanan di Indonesia.”
Perbedaan lainnya adalah, “Tiga: harinya di sini panjanggggg sekali…. yang kadang bisa dari jam empat pagi sampai jam sembilan malam atau lebih. Nunggu matahari terbenam. Makanya ada yang diniatin hanya sampai jam enam atau jam tujuh malam saja, tidak harus nuggu matahari tenggelam.”
Tiwi menyampaikan pesan yang sangat mendasar tentang berpuasa, “Yang penting NIATnya, yaitu berpuasa sudah diniatkan di dalam hati…”.
Selain ketiga perbedaan di atas, Tiwi menambahkan, “Ini juga satu lagi perbedaan nya…kalau di Indonesia satu rumah bisa Buka dan Sahur bersama sama sehingga ramai-ramai, meriah, terasa sekali spiritnya. Kalau di sini tidak semua anggota keluarga berpuasa. Tetapi masih saling menghargai dan menghormati sehingga spirit tetap sama, hanya kurang ramai-ramainya saja.”
Ibadah memang bagian dari iman yang memiliki dimensi sosial. Kalau tidak ada banyak orang yang melakukan ibadah yang sama pada saat yang sama, ibadah tersebut seakan tak terlihat dan dikenali. Walaupun semangat dan jiwa dari ibadah itu tetap ada.
Menurut sensus yang terjadi beberapa minggu yang lalu, jumlah penduduk di negara bagian Minnesota adalah 5,4 juta jiwa. Jumlah penduduk yang beragama Islam diperkirakan 182,000 orang, sekitar lima persen dari jumlah penduduk setempat. Kalau secara nasional jumlah umat Muslim di Amerika Serikat adalah 1% dari sekitar 370 juta jiwa. Adapun jumlah masjid di Minnesota adalah 151 dan 10% dari jumlah ini tadinya adalah bangunan gereja.
Tiwi tinggal nyaman bahagia di daerah yang aman bernama Eagan, Minnesota bersama dengan Bob (suami) dan kedua anaknya Aldi and Jaslyn. Semoga sharing ini berguna bagi para pembaca. Saya juga mengucapkan selamat berpuasa, semoga karena dilandasi oleh NIAT hati yang tulus ibadah puasa kalian berjalan lancar dan menjadi sumber berkah bagi semua.
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi saudara-saudariku yang menjalankannya.