Kenangan Adalah Inspirasi (3): Kuliah

Ditulis oleh Yohanes Berchmans Rosaryanto, OSC

“Kenangan Adalah Inspirasi-2” (KAI-2) terdiri dari dua bagian. Yang akan saya tulis ini adalah bagian kedua, yakni kisah-kisah di bangku kuliah. Pada bagian pertama saya berbagi pengalaman mengenai sekolah di TK sampai dengan SMA. Seorang teman saya bertanya ketika saya baru mulai memasuki kuliah, “Apa bedanya sekolah dan kuliah?” Lantas dia jawab sendiri. Katanya, “Sekolah itu untuk anak TK sampai SMA. Setelah SMA kita kuliah, bukan sekolah lagi. Semasa sekolah kita mulai pelajaran selalu pada jam tujuh. Di bangku kuliah, mulai dan selesainya pelajaran tidak menentu.”

Universitas Parahayangan

Selepas SMA saya mulai kuliah di kota Bandung. Jaraknya sekitar 450 kilometer dari kota kelahiran saya, Klaten. Kota ini menarik. Banyak orang berkunjung dan bahkan berkehendak untuk tinggal di sana. Itu yang saya rasakan dulu, ketika saya baru saja menginjakkan kaki di kota Bandung pada tahun 1989. Ada banyak alasan mengapa orang ingin berada di kota ini.

Bandung adalah ibu kota provinsi Jawa Barat, Indonesia. Masyarakatnya beradat istiadat Sunda. Kultur orang Sunda tidak banyak berbeda dengan orang Jawa seperti saya. Namun demikian toh ada saja kesalahpahaman dalam bersosialisasi dengan mereka, baik itu dalam soal berbahasa maupun berperilaku. Kata yang sama bisa bermakna berbeda sama sekali. Dalam bahasa Sunda, ‘atos’ berarti ‘sudah’ sedangkan dalam bahasa Jawa kata itu berarti ‘keras’. Nama buah, misalnya, ‘gedang’ dalam bahasa Sunda berarti buah ‘pepaya’ dan dalam bahasa Jawa artinya buah ‘pisang’. Untung saya menyadari hal-hal semacam itu sejak awal sehingga saya tidak terjebak pada kesalahan yang fatal.

Kota Bandung terletak di dataran tinggi yang dikenal dengan nama Parahyangan yang artinya ‘tempat para dewa’. Sejak jaman penjajahan Belanda, kota ini terkenal sebagai tempat istirahat karena udaranya yang segar. Bandung kemudian berkembang sebagai kota mode sehingga oleh orang-orang Belanda dijuluki ‘Parijs van Java’, kota Paris dari Jawa. Ada juga yang menjulukinya sebagai kota kembang karena banyaknya bunga-bunga yang tumbuh di Bandung dan sekitarnya. Tidak heranlah bahwasanya kota Bandung menjadi idaman banyak orang untuk ditinggali. Itu dulu. Entah sekarang mengingat kondisi kota semakin tebal polusinya, arus kendaraan macet di mana-mana. Bandung, rasanya begitu cepat engkau berubah!

Saya belajar filsafat di kota Bandung itu, tepatnya di Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR). Untuk belajar filsafat, saya harus banyak membaca. Saya bersyukur bahwa saya agak terlatih bagaimana caranya belajar semasa di SMA. Jika tidak, entahlah apa yang terjadi dengan studi saya. Selain tuntutan untuk banyak membaca, kemampuan berbahasa saya, baik lisan maupun tulisan, juga harus ditempa. Lagi-lagi, saya mendapatkan bekalnya secara khusus di masa SMA.

Suasana belajar di universitas sangat berbeda dari masa-masa sebelumnya (masa sekolah-kata teman saya). Perilaku belajar saya diuji karena hampir tidak ada orang yang mengatur saya untuk belajar. Saya wajib menentukan sendiri cara dan kuantitas belajar saya setiap hari. Ini hal baru bagi saya. Saya mulai mengembangkan metode-metode belajar yang sifatnya khas, yakni membuat banyak pertanyaan dan bukan pernyataan. Saya menyadari bahwa saya tidak memiliki ingatan yang sangat tajam. Akhirnya, merumuskan pertanyaan-pertanyaan menjadi keasyikan tersendiri. Barangkali cara ini memang cocok untuk studi filsafat yang saya geluti.

Di suatu masa dalam perkuliahan di Bandung, saya mengalami gangguan mata. Saya mulai enggan membaca. Memejamkan mata dan tidur menjadi pilihan yang lebih menyenangkan daripada menekuni buku-buku dan diktat kuliah, apalagi di waktu malam. Saya mencoba untuk mengkritisi diri sendiri dengan mengatakan bahwa ‘saya malas’, namun kenyataannya saya memang tidak kuat lagi membaca seperti biasanya. Kondisi ini mendorong saya untuk menemukan seorang teman untuk saya jadikan partner belajar. Teman ini sangat suka membaca dan pintar. Daya ingatnya luar biasa. Setiap kali menjelang ujian, saya undang dia dan saya bombardir dia dengan berbagai pertanyaan dari bahan kuliah. Bergaya bagai seorang dosen penguji, saya rumuskan pertanyaan-pertanyaan yang saya ambil dari diktat yang tidak seluruhnya bisa saya baca. Dia akan menjawab sesuai dengan diktat dan buku-buku yang dibacanya. Jawabannya semakin tajam karena pertanyaan-pertanyaan saya juga semakin menghujam. Dengan cara ini, saya belajar dari mendengarkan jawaban dia dan sebaliknya, dia pun belajar melalui pertanyaan-pertanyaan saya. Tidak jarang beberapa pertanyaan yang saya lontarkan muncul dalam ujian. Wow, kan?!

Menjelang kelulusan, saya harus menggunakan kaca mata hingga sekarang.

Filsafat adalah ilmu yang tidak begitu populer di Indonesia. Selain rumit dengan pemikiran-pemikiran yang kadang aneh, para lulusan filsafat tampaknya tidak memiliki masa depan yang cerah seperti lulusan sekolah teknik atau keuangan. Dosen-dosennya pun kadang eksentrik. Ada dosen yang kacamata-tebalnya selalu melorot ke ujung hidung. Buku-buku yang dibawanya berlapis-lapis. Kacamatanya hanya dipakai untuk membaca. Bila memandang kepada mahasiswa, matanya melongok melampaui bagian atas frame-nya sambil dahinya sedikit berkerenyit. Ada juga dosen yang tiap masuk ruang kuliah membawa asbak. Rokoknya pun tingwe: linting dhewe (meramu dan menggulung rokoknya secara manual). Asap rokoknya yang bergulung-gulung menggambarkan kerja otaknya yang super aktif. Biasanya tak seorang pun diperbolehkan merokok di kelas. Itu hanya terjadi di kampus kami. Istimewa!

Beberapa mahasiswa juga ikut menjadi aneh-aneh. Mungkin karena belajar filsafat, kebebasan berpikir mereka ekspresikan juga melalui kebebasan bertindak. Kadang kebebasan itu kebablasan (keterusan) dan menjadi tidak pada tempatnya. Bagaimanapun, itulah yang terjadi dan tetap indah menjadi memori. Ada mahasiswa yang sering datang terlambat. Suatu kali pak dosen bertanya, “Mengapa kamu terlambat?”, dijawabnya, “Karena Bapak mulai lebih cepat dari kedatangan saya, Pak!” Mendengar itu, kami teman-teman sekelas sudah merasa ngeri mengantisipasi kemarahan sang dosen. Ternyata beliau tertawa dan menjawab, “Jawaban bagus… Duduk!” Aduuuh kami menarik nafas lega. Pernah juga seorang mahasiswa menjawab ujian dengan tulisan yang tidak jelas. Ketika kertas ujian dikembalikan, dosen kami berkata, “Ini tulisan siapa? Tidak bisa dibaca! Tolong disalin dengan tulisan jelas supaya bisa dikoreksi…” Mahasiswa pemilik kertas ujian itu lantas menyalin jawabannya dengan sangat hati-hati, menuliskannya sejelas mungkin selama kuliah berlangsung saat itu. Menjelang kuliah selesai, dikumpulkannya dengan bangga, “Sudah bagus Pak, sudah jelas.” Kertas salinan itu diterima oleh pak dosen dengan senyuman. “Terimakasih, kamu dapat C”, katanya tanpa melihat kertas ujian tersebut. Hahaha… Bisa dibayangkan betapa gondok dan sebal mahasiswa itu. Siapa suruh tulisannya bergaya cakar ayam. (Sssttt ini rahasia: dia sekarang bertugas sebagai sekretaris. Untung selalu menggunakan komputer!)

Ateneo de Manila

Saya melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi di Ateneo de Manila, Republic of the Philippines. Ini juga menjadi pengalaman baru dalam soal persekolahan. Selain kultur baru yang harus saya hadapi, saya harus menggunakan bahasa Inggris setiap hari. Meski demikian, bahasa Inggris saya sampai kini masih menggunakan gaya imperfect. Artinya tidak sempurna! Di Manila, untuk berkomunikasi sehari-hari berkembanglah Taglish: Tagalog-English, sebuah perpaduan bahasa nasional Philippines dan bahasa Inggris. Hal itu juga menambah keruwetan penyesuaian diri saya di tempat kuliah yang baru ini. Belum soal makanan… pikiran bisa diajak kompromi, tetapi perut tak bisa mengerti!

Minggu-minggu pertama di Manila saya sudah kangen nasi pulen (nasi yang dimasak lunak dan agak lengket). Sedikit demi sedikit saya mampu menyesuaikan perut dan setelah beberapa bulan saya bahkan mulai menyukai beberapa menu khas Philippines.  Daging babi adalah menu yang mudah didapat dengan berbagai macam bentuknya seperti, longanisa, tapa, chicheron, crispy pata, dan lechon. Sayuran tidak begitu populer. Banyak di antaranya yang tetap dicampuri daging babi. Namun begitu, saya menyukai beberapa jenis masakan sayur. Misalnya, kare-kare, laing, sinigang, dan kangkung. Cara pinoy/pinay (sebutan untuk orang Filipina) memasak ikan bandeng juga khas. Saya menikmatinya. Ketika udara panas, minum halo-halo sudah pasti menyegarkan. Yang sedikit menyeramkan ialah balut. Orang Amerika menyebutnya ‘aborted duck’ atau ‘fertilized duck egg’. Makanan ini adalah telur bebek yang dieramkan selama 16-18 hari. Sebelum menjadi anak bebek utuh, pengeraman dihentikan dan telur itu dimasak. Banyak orang asing tidak berani memakannya atau jijik bahkan hanya dengan melihatnya. Satu butir balut memiliki kandungan protein yang sangat tinggi. Saya memakannya setidaknya sebulan sekali.  Ternyata menambah gairah belajar.  Hahaha…

Perkuliahan yang saya ikuti di Ateneo ialah psikologi konseling. Bidang ini juga baru sama sekali bagi saya. Sebagai syarat, saya harus mengikuti perkuliahan bersama dengan para mahasiswa undergraduate agar mampu mengikuti perkuliahan di tingkat graduate.  Teman-teman kuliah saya rata-rata berusia 16-17 tahun. Saya agak kikuk bersama mereka… mereka masih unyu-unyu (muda sekali dan lucu). Saya kira saya adalah mahasiswa yang paling tua di kelas. Ternyata tidak! Ada seorang ibu yang berusia 59 tahun mengikuti kuliah di kelas kami. Kagum juga saya mengenal ibu itu. Katanya, “Belajar itu tak ada batas usia.” Semangat saya terasa kembali muda begitu mendengarnya. Selama satu tahun kami belajar bersama.

Latar belakang filsafat yang saya miliki sangat membantu dalam belajar psikologi. Namun, itu tidak selalu. Saya sungguh pusing tujuh puluh keliling (kalau hanya tujuh masih kurang) ketika harus mempelajari statistik. Tak pernah saya sangka bahwa belajar psikologi harus mengerti statistik dengan baik. Beruntunglah saya mengenal beberapa teman yang dengan suka rela membantu saya. Akhirnya saya mengerjakan semua tugas-tugas statistik dengan semangat. Ketika membuat eksperimen dan menyiapkan karya tulis, seluruh proses statistiknya saya kerjakan sendiri. Saya kagum pada diri sendiri! Boleh dong… haha… Pasalnya, kebanyakan teman-teman saya menggunakan jasa ahli statistik untuk bisa menentukan kesimpulan eksperimen mereka.

Ateneo adalah perguruan tinggi milik Jesuit (sebuah kelompok religius dalam gereja Katolik) yang tentu saja visi-misinya mempengaruhi kebijakan pendidikan di Universitas tersebut. Saya merasakan kembali pengaruh itu dalam soal humaniora. Perkuliahan di kelas sangat terhubung dengan aktivitas kemanusiaan di seputaran kami. Saya mendapatkan kesempatan selama enam bulan untuk dua minggu sekali mengunjungi salah satu penjara besar di Muntinlupa, sebuah daerah sedikit di luar Manila. Bersama dengan seorang teman sekelas, saya mencoba menerapkan ilmu psikologi kami untuk membantu mereka yang mengalami depresi. Sungguh sulit membayangkan seandainya saya sendiri harus tinggal di dalam penjara. Mungkin saya akan lebih depresi daripada mereka. Saya bergaul dengan mereka dengan upaya yang serius untuk melepaskan atribut-atribut kejahatan mereka dari pikiran saya. Berat, mengharukan! Bayangkan, setiap kali memperkenalkan diri, secara otomatis mereka menyebutkan juga ‘dosa’ penyebab mereka sampai berlabuh di tempat itu. Mungkin itu sudah menjadi tata cara yang sesuai dengan aturan resmi. “Saya Alfredo. Saya ditahan 15 tahun karena pembunuhan.” “Saya tiga tahun lagi boleh keluar, ditahan karena pencurian dan perkosaan. Nama saya Abo.” Begitu kira-kira cara mereka memperkenalkan diri. Kejahatan di masa lalu dan lamanya hukuman sudah menyatu dalam identitas mereka.

Di Philippines, olah raga juga mendapat tempat di hati para pendidik. Demikian juga di Ateneo. Fasilitas olah raga kami tergolong sangat lengkap. Kompetisi antar universitas menjadi acara tahunan dan sangat populer, khususnya permainan Bola Basket. Tim Ateneo dijuluki Blue Eagle. Selain itu masih ada beberapa olah raga lain yang berkembang sangat baik di kampus. Ya, karena memang difasilitasi dengan apik oleh Universitas. Sayangnya, olah raga yang saya bisa tidak cukup populer di sana. Baru belakangan, menjelang saya lulus, permainan badminton (bulu tangkis) mulai merebak di Metro Manila. Banyak bekas gudang-gudang besar yang diubah fungsinya menjadi lapangan badminton. Ateneo pun terkena imbasnya. Kami dibuatkan lapangan badminton. Suatu kali para alumni mengadakan pertandingan badminton antar mahasiswa dan alumni Ateneo. Saya ikut dan berpasangan dengan teman Pinoy,  seorang alumnus. Saya bukan pemain hebat dalam badminton, hanya saja terbiasa bermain di Indonesia. Di mata teman-teman Filipino, saya dianggap ahli. Hahaha kok bisa… Pukulan saya tidak keras, tapi sering mengecoh lawan. Akhirnya dalam pertandingan itu saya dan pak Boy, pasangan saya, mampu meraih juara kedua. Lumayan! Kapan lagi??

Philippines merupakan negeri kedua saya setelah Indonesia. Saya banyak belajar hidup di sana, bukan hanya di kampus namun juga di masyarakat luasnya. Di kemudian hari saya mendapati bahwa bekal pengalaman di negeri Jose Rizal itu banyak mendukung tugas dan pekerjaan saya. Memiliki banyak teman di negeri orang sungguh menggembirakan. Mereka masih selalu ingin berjumpa setiap kali saya berkunjung ke Manila sejak saya meninggalkan negeri itu pada tahun 2003. Syukurlah… Semoga suatu saat nanti saya bisa bercerita lebih banyak tentang pengalaman-pengalaman di Philippines.

Yohanes Berchmans Rosaryanto, OSC berasal dari Klaten, Jawa Tengah, sekarang berkarya di Roma, Italia.

Copyrights©2017StoryLighthouse. All Rights Reserved.

Foto-foto untuk cerita ini diunggah dari Google Images

3 thoughts on “Kenangan Adalah Inspirasi (3): Kuliah

Leave a comment