Ditulis oleh Yohanes Berchmans Rosaryanto, OSC
Melalui sepeda saya belajar mengenal diri saya sendiri dan berupaya untuk bertekun demi mencapai tujuan, menjadi rendah hati, dan mampu menghargai sesama meski berbeda (lihat Kenangan Pertama: Sepeda). Sampai kini saya masih belajar. Ada banyak pelajaran yang saya dapat dari peristiwa-peristiwa hidup. Saya menyebutnya sebagai pelajaran informal. Tentu ada juga pelajaran formal. Saya mengalaminya di sekolah. Bagi saya, sekolah merupakan sebuah tempat membangun budaya baru yang lebih beradab. Mestinya begitu! Kenangan akan kisah-kisah di sekolah juga memberi inspirasi yang bervariasi, menjadi gambaran perjalanan saya menghadapi budaya masyarakat pada umumnya. Mari bercerita tentangnya.
Taman Kanak-kanak
Sekolah pertama yang saya masuki ialah Taman Kanak-kanak (TK) yang dikelola oleh para suster di kota Klaten. Ada dua sepupu saya yang berbarengan masuk di TK yang sama. Keduanya perempuan. Di antara bertiga, sayalah yang paling nampak jagoan, namun sebetulnya paling pemalu. Ada beberapa peristiwa memalukan yang terjadi ketika saya TK. Maaf, tidak saya ceritakan di sini karena saya masih merasa malu J. Kepribadian yang pemalu ini menyebabkan saya agak lamban dalam menyesuaikan diri terhadap “sekolah” sebagai budaya dan kebiasaan baru. Memulai bergaul dengan guru-guru dan teman-teman baru tidaklah mudah, apalagi ketika harus mengalah. Menjalani aturan-aturan sekolah juga membuat saya sering gundah.
Saya masih ingat bagaimana saya merasa resah duduk di kursi dikelilingi teman-teman sebaya. Satu jam terasa bagaikan seharian. Saya biasa leluasa berjalan kian kemari, berlari, mengamati segala sesuatu dengan bebas. Kini saya harus mendengarkan bu guru setiap hari. Kapan duduk kapan berdiri, semua diatur oleh waktu. Terasa banyak yang hilang dari hidup saya pada waktu itu. Saya hanya bisa menangis. Maklum, namanya juga anak-anak. Di kemudian hari saya menyadari bahwa saya tidak menyukai ruangan kelas. Namun, itulah yang harus saya lakukan karena saya harus belajar. Saya harus sekolah. Kata bapak-ibu saya serta banyak orang tua, “Mau jadi apa kelak kalau tidak bersekolah!” Mungkin mereka benar, entahlah. Saya ingin menjadi pintar dengan cara saya sendiri. Mungkinkah? Belum pernah dicoba… dan rasanya saya tidak berani juga! Hahaha
Kegiatan yang membantu saya berinteraksi lebih baik dengan teman-teman adalah bernyanyi dan bermain. Itu pun dengan syarat: saya tidak tampil sendirian di hadapan banyak orang. Suara saya termasuk lembut, namun ketika bernyanyi bersama, saya sangat bersemangat. Bisa jadi para guru TK memperhatikan hal itu dan memasukkan saya ke dalam grup menyanyi TK untuk mengisi siaran di RPD (Radio Pemerintah Daerah) Klaten. Betapa gembiranya saya! Sejak itu saya selalu berusaha bernyanyi sekuat tenaga. Ayah dan terutama ibu dengan tekun mengajari saya bernyanyi. Maklum, mereka guru menyanyi dan menilai bahwa suara saya sering sumbang. Itulah awal saya dikenalkan pada ‘bagaimana menyanyi dengan baik’. Belakangan saya tahu bahwa semangat sayalah yang membuat para guru terpesona, sehingga mereka memasukkan saya ke dalam grup. Pantas saja orang tua saya tanpa lelah mengajari saya menyanyi. “Ngisin-isini ta wong anake guru nyanyi kok suarane blero…” (tidak sepantasnyalah sebagai seorang anak guru menyanyi bila suaranya sumbang). Pada waktu itu saya tidak peduli karena tidak tahu menahu soal ini. Yang penting saya bernyanyi dengan gembira hati! Haha.. Saya mengenang dengan bangga peristiwa itu apalagi mengingat bahwa saya mendapat hadiah piring seng (kaleng) bergambar yang saya pakai setiap kali makan selama hampir tiga tahun.
Dalam hal permainan, saya termasuk jagoan karena bisa berlari kencang. Saya bukan yang terbaik, namun cukup sering menjadi andalan teman-teman. Permainan yang paling saya sukai ialah ‘Kucing dan Tikus’. Seorang anak menjadi tikus dan seorang lainnya menjadi kucing. Sang tikus harus berlari menghindari kejaran sang kucing. Teman-teman lainnya membuat lingkaran dengan saling berpegangan tangan. Pada awalnya kucing harus berada di luar lingkaran dan tikus di dalamnya. Lingkaran itu berfungsi untuk melindungi tikus dari kejaran kucing. Bila sang kucing berhasil menerobos masuk ke dalam lingkaran, teman-teman akan memberi jalan bagi sang tikus untuk berlari ke luar lingkaran. Pada saat yang sama lingkaran itu akan menghalangi sang kucing sekuat tenaga agar tak mampu mengejar sang tikus. Permainan ini menarik dan sungguh menggairahkan. Saya selalu tertantang. Sorak sorai yang gegap gempita di lapangan membakar semangat juang saya, entah menjadi tikus atau pun kucing. Kadang kami bertengkar karena ada yang bermain curang. Tak enak rasanya. Permainan hanya menyenangkan ketika semua teman mengikuti aturan. Ibu guru wasitnya. Sebaliknya, kegembiraan sirna ketika kesepakatan diabaikan. Ternyata, untuk bermain pun saya harus berlaku serius.
Sekolah Dasar
Banyak kisah bertebaran semasa saya berada di tingkat Sekolah Dasar (SD). Kepandaian saya berkembang. Uniknya, bukan kepandaian dalam pelajaran di kelas. Lagi-lagi, ruang kelas bukanlah kesukaan saya. Saya menikmati tugas untuk membuat prakarya (pekerjaan tangan). Di rumah pun saya mengembangkan diri dengan membuat alat permainan sendiri. Ketika berusia sekitar sepuluh tahun saya sudah bisa membuat kereta mainan dari bunga pohon tebu. Di Jawa kami menyebutnya gelagah. Saya juga membuat layang-layang sendiri. Saya bahkan merancang sebuah senapan dari ranting bambu. Wow! Dalam banyak hal saya ingin melakukannya sendiri. Mungkin memang sewajarnya pada usia itu. Sok bisa!
Ketika itu saya mendapat tugas untuk membuat sebuah rumah mini. Saya pun merancang miniatur rumah itu. Bahannya saya buat dari bambu seperti ketika saya membuat rumah untuk jengkerik peliharaan saya. Selama beberapa hari saya bekerja sampai agak larut. Ayah dan ibu mungkin merasa kasihan dan ingin membantu. Saya mengatakan dengan tegas; “Tidak! Ini tugas saya. Saya akan menyelesaikannya sendiri.” Saya bisa galak. Akhirnya pekerjaan tangan itu selesai dan saya bawa ke sekolah. “Boleh juga nih” begitu kira-kira gumaman saya pada diri sendiri. Saya mengumpulkannya dengan bangga. Ibu guru kelas memeriksa pekerjaan saya dan berkata, “Yus, ini siapa yang buat?” Saya jawab, “Saya, Bu.” Beliau mengamat-amati lagi dan berkata, “Dibuatkan orang lain ya?” Saya jawab lagi, “Tidak, Bu. Saya buat sendiri” Lantas tanpa bertanya lagi beliau berkata, “Tidak mungkin, pasti ini dibuatkan oleh orang lain!” Saya hanya mlongo, terbengong-bengong. Mau menjawab kok ngeri dianggap melawan. Pekerjaan tangan itu segera dikembalikan kepada saya. Nilai sudah goreskan dan yang tertulis tetaplah tertulis. Tak ada perbincangan lebih lanjut. Saya diam saja. Sedih rasanya. “Sakitnya tuh di sini…” seperti lirik sebuah lagu pop Indonesia. Mungkin karena itulah saya malah menjadi sangat terkenang dengan peristiwa itu.
Peristiwa yang kurang menyenangkan sebetulnya tidak banyak. Saya merasa lebih banyak yang menyenangkan. Namun, rupanya pengalaman yang menggembirakan sering malah tidak membekas di hati dibandingkan dengan yang menyakitkan. Saya, setidaknya, sering take for granted dengan pengalaman yang indah sehingga kurang terbuka hati saya untuk disengat olehnya. Barangkali itu sangat manusiawi.
Entah sejak kapan mulainya, tetapi di antara kami siswa SD, ada kebiasaan untuk saling menjodoh-jodohkan. Bahasa jawa-nya macoke. Kebiasaan itu sebetulnya merupakan sebuah ejekan. Siapapun bisa mengejek dan sekaligus menjadi korban ejekan semacam itu, termasuk saya. Namun, saya punya akal untuk menangkis ejekan. Setiap kali ada teman yang mengejek, saya berkata, “Ah.. sorry ya.. saya sudah memutuskan untuk tidak menikah, tidak punya jodoh. Jadi jangan dijodoh-jodohkan!” Rupanya strategi itu cukup manjur. Mereka diam. Setiap kali ada yang mengejek saya, pasti ada teman lain yang membela saya dengan mengulangi pernyataan saya tadi. Seiring dengan berjalannya waktu, saya sempat menyukai beberapa teman wanita, namun tidak pernah berpacaran. Pada akhirnya apa yang saya nyatakan ketika itu menjadi kebenaran. Saya tidak menikah, setidaknya sampai hari ini. Saya menikmati hidup saya sekarang, hanya saja saya tidak pernah mengira bahwa kata-kata saya dulu ternyata menjadi doa yang terkabulkan… (Jadi, berhati-hatilah bermain kata).
Sekolah Menengah
Ketidaksukaan saya terhadap ruangan kelas rupanya belum hilang, juga ketika saya memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Belajar di meja bukan pilihan utama saya. Kegiatan yang disebut ekstra kurikuler pada prakteknya lebih saya minati. Pengalaman menjadi anggota Pramuka (Praja Muda Karana) selalu mengesankan. Salah satu kisah ialah terpilihnya saya dan beberapa rekan untuk mewakili sekolah mengikuti Kemah Akbar selama tiga hari. Kegiatan ini diikuti oleh berbagai SMP dari seluruh wilayah Karesidenan Surakarta.
Pagi-pagi pada hari Minggu yang telah ditentukan, kami, para peserta, sudah berkumpul di sekolah. Sambil menunggu mobil yang akan membawa kami ke Waduk Gajah Mungkur, sebuah danau buatan, di daerah Wonogiri, kami ngobrol ngalor ngidul, memperbincangkan apa saja. Tiba-tiba salah seorang dari kami berteriak dari dalam ruangan kelas yang terbuka. “Hey, di sini ada banyak bantal. Mungkin ini disediakan untuk kita!” Kami semua berlari ke dalam kelas sembari terheran-heran, kok hari Minggu ada kelas yang dibuka. Tanpa banyak pikir, kami serbu bantal-bantal itu. Masing masing mendapatkan satu. “Pas sekali. Wah baik sekali pembina kita!”, kata ketua regu kami. Saya sebetulnya agak kurang mengerti mengapa disediakan bantal untuk kami. “Selama ini sebagai anggota Pramuka, saya digembleng untuk mandiri, hidup sederhana, tidak mencari rasa nyaman begitu saja, bekerja keras dan kreatif, lhah ini mau berkemah malah disediakan bantal?” Saya bertanya-tanya sendiri. Akhirnya berangkatlah kami dengan suka hati. Pendeknya, acara berjalan lancar. Kami mampu menjalankan tugas dengan baik. Kami sampai kembali di sekolah pada Selasa sore hari. Begitu turun dari mobil, kami yang sudah kelelahan, disambut oleh kemarahan bapak penjaga sekolah kami. “Kalian bawa ke mana bantal-bantal kami? Itu bantal-bantal mau dipakai oleh tamu-tamu kami. Pramuka macam apa kalian…” Kami semua terdiam, mulai menyadari kesalahan kami. Celakanya, bantal-bantal itu sudah pada kotor, tak layak dikembalikan lagi kepada beliau. Kami semua meminta maaf dan ketua regu kami kemudian berjanji akan mengganti harga bantal-bantal itu. Keesokan harinya kami kumpulkan uang dan menyerahkannya kepada beliau. Tabungan liburan saya menjadi tumbal untuk membayar bantal. “Betul-betul gombal!”
Sekolah Menengah Atas
Setelah lulus SMP, dengan kesadaran sendiri, saya masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) yang memiliki asrama. Saya harus pindah ke kota lain: Magelang. Jaraknya kira-kira 60 kilometer dari kota kelahiran saya: Klaten dan dipisahkan oleh gunung Merapi yang terkenal itu. Para siswa di SMA yang saya masuki itu semuanya laki-laki dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Situasinya cukup menantang juga bagi saya untuk menyesuaikan diri, khususnya dengan teman-teman dari luar Jawa Tengah. Bukan hanya bahasa, adat kebiasaan mereka pun berbeda dari saya. Namun itu tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang saya peroleh karena memiliki banyak teman dari berbagai daerah. Pengalaman berbagi dengan para siswa asrama menjadi irama sehari-hari. Dengan satu atap kami tidur, di sebuah aula besar di atas papan kayu kami masing-masing; di satu ruangan kami makan; belajar pun demikian. Pernah suatu malam salah seorang dari kami mengigau dan berteriak kuat. Teman di sebelahnya kaget dan ikut serta berteriak. Akhirnya kepanikan melanda seluruh ruangan karena semua siswa terbangun dan sebagian dari kami tidak bisa berhenti berteriak-teriak sampai lampu dinyalakan. Begitulah akibat tidur rame-rame.
Di SMA ini saya mulai membiasakan diri untuk duduk dengan tenang dan belajar di belakang meja. Maklum, saya merasa tuntutan sekolah ini lebih berat ketimbang sekolah-sekolah saya sebelumnya. Untunglah teman-teman sekelas sangat mendukung suasana belajar kami. Saya diperkenalkan dengan berbagai ilmu (pemikiran) yang tidak saya bayangkan sebelumnya. Ada istilah baru yang terasa merdu bagi saya dan sungguh mengesankan, yakni humaniora. Tidak pernah saya dengar istilah itu sebelumnya. Kata itu masih bergaung merdu di kepalaku hingga kini. Menjadi manusia, memanusiakan manusia, mendewasakan manusia muda, berperi-kemanusiaan, dan lain sebagainya sering menjadi referensi pemikiran dan keputusan-keputusan saya di kemudian hari. Dalam sebuah ceramah umum yang disampaikan oleh almarhum Romo Mangun Wijaya waktu itu, saya merekam kata-kata beliau, “Sekolah ini mestinya mendidik anak-anak muda untuk menjadi pejuang menuju manusia utuh.” Saya terkesan. Saya berkenan.
Sekolah SMA kami memiliki banyak aturan yang tidak bisa dinegosiasi. Salah satunya ialah ‘dilarang mencontek’. Saya baru menyadari bahwa aturan itu sungguh serius ketika salah seorang teman kelas kami dikeluarkan dari sekolah karena mencontek. Pertama kali mencontek, dia mendapat teguran. Kedua kalinya, dipersilahkanlah dia mencari sekolah yang lain. Wow! Tidak pernah kejadian semacam itu saya saksikan sebelumnya. Saya simpan semuanya di dalam hati.
(bersambung: sekolah di bangku kuliah)
Yohanes Berchmans Rosaryanto, OSC berasal dari Klaten, Jawa Tengah, sekarang berkarya di Roma, Italia.
Copyrights©2017StoryLighthouse. All Rights Reserved.
Foto-foto untuk cerita ini asli dari penulis dan dari Google Images – pramuka.