Terima Kasih Kembali

Ditulis oleh Richard Carter

Diterjemahkan oleh Api Sulistyo

Cerita ini adalah sebagian dari kotbah Richard Carter di gereja St. Martin-in-the-Fields, di London, United Kingdom, pada tanggal 19 Februari, 2017

Sebelum saya menjadi seorang pendeta Anglikan, saya adalah seorang guru bahasa Inggris dan Drama dan selama empat tahun saya menjadi dosen di universitas swasta untuk pendidikan calon guru, di Yogyakarta, Indonesia. Salah satu mahasiswa saya adalah seorang pria bernama Agung. Dia miskin dan saya ingat dia mengatakan kepada saya bahwa ibunya telah menjual cincin pernikahannya untuk membayar biaya masuk ke universitas. Pada semester pertama saya mengajar ibunya meninggal dan Agung tanpa dukungan keuangan untuk melanjutkan kuliah, jadi saya menawarkan tempat tinggal di rumah yang saya tempati di desa di luar Yogyakarta. Kami segera menjadi teman yang sangat baik. Dia itu orangnya, bagaimana saya, bersikap acuh tak acuh tentang filsafat hidup. Saya hanya digaji sesuai upah lokal karena saya bekerja  sebagai relawan, tetapi kami bisa bertahan. Dan rumah kami di desa menjadi tempat yang indah untuk pertemuan, keramahan, dan untuk gagasan-gagasan yang kreatif dan diskusi.

Saya ingat Agung membuat tempat tidur dari batu-bata yang telah dibuang dan papan kayu tua serta kasur tipis di atasnya. Ketika saya pergi keluar rumah, ia akan teriak: “Jangan lupa, satu nasi dibungkus buat Agung.” Maksudnya supaya saya tidak lupa untuk membawa nasi bungkus untuk dia waktu kembali- ada makanan Indonesia di pinggir jalan yang lezat –  nasi sayur dan sambal dibungkus daun pisang. Tentu saja saya tidak melupakan dia. Tapi, setelah beberapa tahun keadaan kadang-kadang menjadi sulit terutama pada tanggal tua ketika uang mulai habis. “Jangan khawatir,” Agung akan bilang dari tempat tidur batanya di mana dia berbaring belajar – “Allah akan menyediakannya”

“Masalahnya adalah” saya ingat suatu hari menjawabnya “Bukan Allah yang menyediakannya – tetapi saya.” Sejujurnya bukan masalah ‘memberi’ yang menggangguku. Bahkan saya senang bisa membantu dia – dia orang yang cerdas dan kreatif dan saya tidak mungkin meminta untuk punya teman yang lebih baik atau lebih setia. Bukan itu yang menggangguku tetapi tidak adanya ucapan ‘terima kasih’. Mengapa dia tidak pernah mengucapkan terima kasih? Dia tidak pernah melakukannya meskipun saya membayar semuanya. Dan suatu hari saya ungkapkan perasaan saya:

“Kamu tahu Agung, selama beberapa tahun saya yang membayar semuanya dan kamu tidak pernah mengucapkan terima kasih.” Agung diam sejenak dan kemudian berkata:

“Saya akan senang kalau dapat memberikan kepadamu seperti yang telah kamu lakukan kepada saya, mungkin yang memberi seharusnya mengucapkan terima kasih juga.”

“Wah ini pemikiran yang dalam!” Saya bilang, “Maksudmu, saya tidak hanya membayar semuanya tetapi saya harus juga berterima kasih kepada kamu?”

“Ya” katanya. “Apa yang kamu ajarkan kepada kami dalam bahasa Inggrismu? Kamu mengakatakan ketika kamu memberi sesuatu kepada seseorang dan orang itu menerimanya, kamu membalas dengan -“Dengan senang hati.” Mengapa kamu mengatakan begitu? Apakah kata-kata itu tak ada artinya? Kamu merasa senang waktu memberi. Saya tidak punya uang saat ini, tetapi ini adalah kesenangan bagi saya untuk menjadi teman dan saudaramu di negeri yang kamu datangi dan tinggali ini.”

Tiga puluh tahun kemudian Agung dan istrinya, Lily, datang untuk tinggal dengan saya di sini di London. Terasa seperti masa lalu meskipun peran kami sekarang telah berubah. Agung ingin membayar untuk semuanya. Ketika ia akan pulang, ia meninggalkan amplop di meja. Dalam amplop terselip uang $ 1,000 Amerika. Di kartu tertulis: “Mas Richard”, yang berarti “saudaraku” – terimalah pemberian ini untuk membantu orang lain seperti kamu telah membantu saya…. Dengan senang hati.” Saya memegangi amplop dan tak bisa berkata apa-apa, mataku berlinang mengingat kembali ke saat-saatu dulu di Yogya di mana kami telah menjadi diri kami. Dengan senang hati juga saya dapat memberi, kalau saja aku bisa berbuat lebih banyak. Saya telah mencoba untuk belajar darinya dan selalu mengingatnya. Sahabatku Agung dan banyak orang lain adalah guru-guru saya.

Saya tidak pernah melupakan kebenaran ini:

Dengan senang hati. Ketika kita memberi, kita memberi diri kita sendiri, kita memberikan apa yang hidup di dalam diri kita. Kita menanggapi kodrat Allah – Allah yang memberikan semua hal yang baik. Kemiskinan yang terberat dari semua kemiskinan adalah hilangnya kemampuan untuk memberi. Bagaimana saya dapat memberikan lebih banyak? Kami sering tidak menghargai sukacita dalam memberi. Keputusasaan yang sering menghantui kita di dunia barat adalah bahwa kita akan dipaksa ke dalam ketergantungan dan kemiskinan dan mungkin ini adalah ketakutan yang mencegah kemurahan hati yang lebih besar dalam kehidupan kita.

Saya telah sering melihat dalam hidup saya bagaimana orang seakan mendapatkan hidup kembali karena kemurahan hati mereka. Pernahkah anda perhatikan pada hari Natal di mana memberi hadiah sebenarnya jauh lebih menarik daripada menerima hadiah? Lihatlah wajah mereka yang memberi hadiah Natal yang telah dipilih dan dibungkus dengan sangat hati-hati – wajah merekalah yang penuh dengan sukacita. Saya telah melihat di kelompok pengungsi, para tamulah yang telah menjadi tuan rumah – yang ingin membantu dengan mencuci dan membersihkan nampan dan mengelap meja dan menghidangkan makanan – merekalah yang terlihat berseri dengan semangat, pengharapan, dan kasih karunia. Ya kasih karunia – karena itulah arti kasih karunia – hadiah yang cuma-cuma – berbagi cinta tanpa syarat.

Hal-hal yang seharusnya sangat kita syukuri kadang-kadang kita tidak anggap penting. Maksudku, berapa banyak anak yang menghabiskan sebagian besar masa kecilnya merasa berterima kasih kepada orangtua mereka? Berapa banyak dari mereka berterima kasih kepada orangtua mereka karena mengantar mereka ke sekolah atau ke latihan sepak bola, atau untuk pergi berenang, atau untuk bangun awal untuk mempersiapkan makan siang mereka atau untuk mencoba membantu mereka menggarap pekerjaan rumah? Baru nanti di belakang hari mereka belajar tentang arti rasa syukur yang sebenarnya.

Kita sering berpikir bahwa memberi lebih berkenaan dengan tindakan-tindakan memberi dan perhatian lebih ditujukan kepada si pemberi. Seperti membayar kwitansi di restoran dan dengan sengaja menunjukkannya supaya semua orang lain tahu, atau bersikap sangat murah hati di bar supaya semua orang tahu, tapi lupa untuk membeli susu dan pasta gigi. Salah satu klien pada suatu kelompok pernah berkata. “Ada banyak kebaikan kepada orang tunawisma pada hari Natal, yang menjadi masalah adalah 364 hari lainnya.”

Saya ingat seorang ibu janda yang bercerita tentang pengalamannya dalam membesarkan putrinya. Dia mengatakan bahwa ketika bapaknya membawa anak putrinya bepergian keluar, bapaknya memberikan perlakuan istimewa seperti membeli es krim, pakaian baru, mainan, dst, tetapi, dia mengatakan, “Akulah yang membeli popok dan bedak, pemanas ruangan, gas, dan penitipan anak supaya saya bisa pergi bekerja dan mendapatkan gaji cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok.” Meskipun begitu tentu saja jika saya tanya, aku tahu dia tidak akan mengubah perannya sebagai itu bagi anaknya itu.

Kemurahan hati Tuhan bukanlah tentang menonjolkan diri sebagai orang yang murah hati atau pencitraan – meskipun ada saat-saat untuk itu. Kemurahan hati Tuhan juga berkenaan dengan kemurahan hati yang baku dan terus berlangsung. Kemurahan hati yang membuat kita untuk bersedia berpaling karena peduli dan membuat kita memberi karena kita tahu bahwa ini adalah hal yang paling berharga dalam hidup kita. Dan tidak ada cara lain. Kemurahan hati yang mengatakan bahwa saya akan tetap melakukan hal yang sulit untuk tetap bersama anda walaupun sulit dan saya akan mencoba untuk tidak mengecewakan anda. Karena… karena aku mencintai kamu. Aku mencintaimu tanpa syarat, walaupun tentu saja kita tidak mengatakan begitu – terlalu dalam untuk itu –  tetapi itulah denyut jantung kita.

 

Copyright@2017StoryLighthouse. All Rights Reserved.

 

House

http://www.rumahjogja.net/2009/09/rumah-dijual-di-manisrenggo-kalten.html

http://rumahdijual.com/yogyakarta/94595-rmh-halaman-luas-sederhana-link-kampung-tepi-jl-utr.html

Nasi Bungkus

http://www.infomakan.com/tempat-makan/nasi-bungkus-bogana-mama-ita-kedoya-jakarta

http://realnewszone.blogspot.com/2015/08/ini-rahasia-nikmatnya-nasi-bungkus-rm.html

Sanata Dharma University

http://news.olshops.org/2013/01/10-universitas-dan-perguruan-tinggi.html

http://hoteldekatkampus.com/indonesia/yogyakarta/universitas-sanata-dharma-usd-yogyakarta/

Christmas Presents

https://www.scarlethotel.co.uk/finding-the-perfect-christmas-present/

Thank You

https://www.123rf.com/photo_10909899_thank-you-payment-in-red-envelope.html

https://www.google.com/search?q=sanata+dharma+university&espv=2&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwix1YiZnejSAhUU3GMKHetNCHcQ_AUIBygC&biw=1920&bih=1014#tbm=isch&q=thank+you+envelope&*&imgrc=B_WJWAz8AKeD9M:

Grateful Heart

https://www.pinterest.com/theurbanecolife/30-days-of-gratitude-november/

Leave a comment