Cerita ini adalah bagian dari tulisan Baskara T. Wardaya ketika tinggal di kota Abeline untuk melakukan riset di Perpustakaan Kepresidenan Dwight D. Eisenhower di negara bagian Kansas, Amerika Serikat.
“Hanya ada sedikit persahabatan di dunia ini, apalagi persahabatan antara pihak-pihak yang tidak memandang rendah satu sama lain”
Francis Bacon[2]
Untuk Mereka
Tepat jam 18:10 bel tamu Pastoran berbunyi, dan John datang menjemput saya. Di dalam mobil ternyata sudah ada dua penumpang lain. Yang satu kalau tak salah bernama Jack, seorang lelaki berumur. Rambutnya putih berjambul dan ia memakai kalung emas yang ukurannya dibuat pendek sehingga tampak mentereng melingkar di lehernya. Penumpang yang lain adalah, aduh mak, Si Kekar pemurung yang tadi di Perpustakaan duduk di depan saya itu. Dipimpin oleh John yang menggesekkan kartu keanggotaannya di pintu masuk Restoran Elks Club kami masuk ke dalam restoran dan bar yang tampaknya penuh dengan laki-laki setengah baya. Semua yang hadir di situ ternyata memang hanya laki-laki, kecuali dua orang waiter yang dua-duanya perempuan. (Maaf, mereka terkesan agak diskriminatif, tapi sepertinya ini memang semacam “men’s club” begitu). Hadir malam itu kira-kira 80 orang laki-laki. Edan.
John mulai memperkenalkan Si Kekar dan saya kepada para tamu yang hadir. Sekaligus John “kambuh” penyakitnya, hingga ia rajin memperkenalkan saya pada yang hadir tanpa pernah lupa menyebutkan “He is a Jesuit priest.” Padahal kita tahu, di Kansas ini penduduk yang beragama Katolik jumlahnya amat kecil, karena kebanyakan orang beragama Protestan. Di Abilene ini ada sepuluh Gereja, tapi hanya ada satu Gereja Katoliknya. Dengan fasih John menerangkan kepada saya siapa-siapa saja mereka yang ada di sekitar saya itu satu persatu, termasuk apa pekerjaan mereka. Wah, memang, di kota kecil seperti ini setiap warga mengetahui apa yang dikerjakan oleh warga yang lain. Tapi dengan begini pula saya jadi tahu siapa-siapa saja orang-orang di sekeliling saya malam itu. Sejenak kami minum-minum sambil ngobrol sana-sini: tentang Abilene, tentang Indonesia, tentang Eisenhower, termasuk tentang Marlin Fitzwater kebanggaan mereka. Sebagaimana kita tahu, Fitzwater adalah orang asal Abilene yang merupakan satu-satunya orang dalam sejarah Amerika yang pernah ditunjuk menjadi Press Secretary oleh dua presiden, yakni Presiden Ronald Reagan dan Presiden George H.W. Bush.
Acara minum kemudian dilanjutkan dengan puncak acara yang paling menyenangkan: makan malam. Dan untuk makan malam kelompok ekslusif seperti ini restoran hanya menyediakan menu steak (dengan beberapa variasinya), disertai sedikit menu tambahan. John mengantar saya ke tempat pemesanan makanan, dan ia merekomendasi saya untuk memilih Kansas City Steak yang harganya $11.00 sepotong itu, sambil mengatakan, “Anda tamu saya. Anda saya traktir.” “Matur nuwun, Pak.” jawab saya dalam hati dengan penuh rasa terima kasih.
Meja tempat saya makan adalah sebuah meja panjang, dengan peserta kira-kira duapuluh orang. Mari kita simak beberapa dari mereka ini. Duduk di sebelah kanan saya adalah seorang Bapak yang sudah berumur, tinggi, berperilaku tenang dan penuh gaya kebangsawanan, bagaikan seorang Baron dari Eropa Abad Pertengahan. Kita panggil saja ia Sang Baron, berhubung saya juga lupa namanya. Berkumis melintang warna perak, Sang Baron lahir dan dibesarkan di Abilene. Tapi kemudian ia menjadi seorang pengusaha di Pantai Timur (Amerika) sana. Ia bekerja pada perusahaan satelit komunikasi, dan rupa-rupanya ia sukses. “Istri saya asli Berlin,” katanya. Ketika saya katakan bahwa musim panas yang lalu saya sempat berkunjung ke Berlin, dia lalu bercerita banyak tentang kota itu. Dalam Perang Dunia Kedua, Berlin—tempat markasnya Hitler itu—digempur habis oleh tentara Sekutu, termasuk wilayah sekitar rumah istrinya. Anehnya, rumah istrinya selamat tanpa kerusakan sedikitpun, bersama sebuah gereja di dekatnya. “Sepengetahuan saya, kalau orang menjatuhkan bom waktu perang itu tak bisa pilih-pilih sasaran. Tapi entah mengapa gereja dan rumah istri saya selamat,” katanya. “May be the Lord protected them,” katanya lagi, kali ini sambil menengadahkan wajah dan kedua tangan ke atas. Tigapuluh lima tahun Baron dan istrinya tinggal di San Diego, di California. Beberapa tahun lalu mereka memutuskan untuk kembali ke Abilene. “Di sini saya dan istri saya merasa lebih cocok,” begitu Sang Baron berujar.
Di depan saya duduklah Mr. Tietjen. Karena di Abilene ini semua orang adalah teman, saya dibiasakan memanggil orang dengan nama pertama saja. Oleh karena itu kita panggil saja dia dengan nama pertamanya, yakni Terry. Berusia sekitar 50-an, Terry tidak berasal dari Abilene. Ia berasal dari Sebetha, yang terletak di sudut lain negara bagian Kansas ini. Bersama dengan saudara kandungnya, Jerry, ia datang ke Abilene. Tak lama kemudian ia dan saudara kandung sekaligus saudara kembarnya itu “jatuh cinta” pada Abilene. Di kotanya yang baru ini ia amat dikenal dan dicintai. Antara lain karena ia telah berjasa membeli dan merenovasi rumah-rumah besar bersejarah (mansions) sehingga membantu kota Abilene tetap ingat dan erat pada sejarahnya. Salah satu rumah yang mereka renovasi adalah “The Seely Mansion,” sebuah rumah besar yang merupakan salah satu simbol kejayaan Abilene di masa lalu. Rumah megah dengan 25 ruangan dan berlantai tiga itu dulu hampir lapuk, tapi kini bersinar kembali setelah Terry dan saudara kembarnya menghabiskan ratusan ribu dolar untuk merenovasinya. Rumah itu sekarang menjadi salah satu obyek turis di Abilene. Terry juga baru saja merenovasi sebuah gedung tua yang diubah menjadi gedung teater yang kini bernama “The Tietjen Center for the Performing Arts.” Banyak orang Abilene merasa bersyukur karena jasa-jasa Terry dan Jerry. Beberapa tahun lalu Jerry meninggal karena kanker, tetapi Terry tetap melanjutkan proyek bersama itu. Menariknya, sampai sekarang Terry tidak pernah menikah. “Selagi di Abilene ini, Anda harus datang mengunjungi rumah saya,” pesan Terry pada saya.
Dari Terry, marilah kita beralih pada orang yang duduk di sebelah Si Baron, yakni Si Bob. Oleh John dan teman-temannya Si Bob dijuluki “si raja minyak” karena ia mempunyai sebuah pompa bensin.
“Bask, ini dia raja minyak-nya Abilene,” kata John ketika memperkenalkan Bob pada saya. Tak lama kemudian teman-teman lain ikut menimpali.
“Betul. Dan dia itulah si tukang menaikkan harga bensin di sini.”
Yang lain langsung saja sambil berkelakar membentak dia: “Kenapa sih, kamu suka menaikkan harga bensin?”
Sambil berkelakar pula Bob menjawab: “Soalnya saya butuh duit supaya bisa minum dan makan-makan seperti ini sama kalian.” Ah, pinter juga si Juragan lokal ini.
Di sebelah kanan Terry duduklah si Bluejay. Saya tak punya banyak cerita tentang Bluejay. Tapi suatu saat dia pernah berbisik pada saya, “Now let’s get on politics, so that soon we can get out of it: What is happening in Indonesia?” Rupa-rupanya dia tahu banyak tentang apa yang terjadi akhir-akhir ini di negeri penuh ketidakpastian itu. Sedang kami bicara soal apa yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia, Bob si Raja Minyak lokal itu bergabung. Sayang sedikit, tak lama kemudian terjadi perdebatan yang agak sengit antara Bluejay dan Bob. Gara-garanya yang satu mengatakan bahwa biang keladi kekacauan politik di Indonesia ini adalah korupsi, sedang yang lain mengatakan: “It’s not just that.” Sebelum saya berhasil menengahi perdebatan itu, salah satu pihak terlanjur dongkol dan mogok bicara. Ia kemudian ngeloyor pergi dan memilih bicara dengan orang lain. Sayang.
Di ujung meja duduklah seorang laki-laki setengah baya berbaju kotak-kotak. John sempat memperkenalkan saya padanya, tapi saya tak ingat persis nama beliau. Yang jelas, beberapa teman berbisik pada saya: dia ini orang kaya. Ia adalah menantu dari keluarga yang dulu menguasai perusahaan telpon di Abilene sini. Sebagaimana Anda tahu, lanjut mereka, perusahaan telpon itulah yang kemudian menjadi cikal-bakal perusahaan telpon Sprint sekarang ini. Astaga, gumam saya dalam hati. Tak kusangka bahwa Sprint, perusahaan raksasa itu, ber-“tanah tumpah darah” di Abilene sini. Kebetulan malam itu saya lagi mengantongi kartu telpon Sprint. Perusahaan ini pula yang sebagaimana telah saya ceritakan di depan “berjasa” pada saya sehingga saya bisa menelpon orangtua saya di tanah air dengan panjang lebar secara gratis.
Dalam acara makan malam itu kami dilayani oleh seorang waiter yang berhidung mancung dan berambut pirang berombak, tapi tingkahnya—kesan saya—sedikit nakal. Rupa-rupanya Si Pirang ini sudah dikenal baik dan disayang oleh kelompok “remaja” usia 60-an ini. Lihat saja sebagai contoh Si Paitua Baron di sebelah kanan saya itu. Ia sempat mendaratkan cium pipi sedikit ketika Si Pirang melayaninya dengan makanan. Dan tak lama kemudian Si Pirang ganti melayani Si Bluejay. Saya lirik, Si Bluejay mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Si Pirang. “Wah, cium lagi, nih ye…,” pikir saya.
Eh, ternyata ketika kedua wajah itu berdekatan, Si Bluejay menunjuk ke arah saya, sambil mengatakan pada Si Pirang: “He is a Jesuit priest. Did you know that?” Kedua mata Si Pirang berombak itu pun mebelalak, disertai teriakan agak seronok: “A Jesuit? Oh, shit!”
Ia melanjutkan: “My uncle is a Benedictine monk!”
Saya lalu balas: “A Benedictine monk? Oh, shit!”
Tentu saja balasan demikian tak pantas diucapkan langsung; maka saya ucapkan dalam hati saja. Yang jelas saya tak menyangka bahwa waiter itu punya paman yang adalah seorang biarawan Benedictine dan menurutnya kini bertugas di Afrika. Konon tahun lalu Si Pirang dan keluarganya bertandang ke New Jersey ketika paman itu merayakan pesta emas hidup membiara di sana.
Sekarang tentang Si Kekar itu. Dalam acara makan malam tersebut ia duduk persis di sebelah kiri saya. Omong punya omong, ternyata dia itu seorang pilot maskapai penerbangan Continental Airlines. Sembari bekerja sebagai pilot, ia meneruskan kuliah S-2 Jurusan Sejarah di Universitas Texas A&M, di kota College Station. Di perpustakaan Eisenhower ia sedang melakukan penelitian untuk salah satu paper yang harus ditulisnya. Omong punya omong juga, ternyata ia pernah setahun menjadi pilot Continental yang melayani rute Kepulauan Micronesia.
“Saya pernah tinggal di Micronesia selama tiga tahun,” kata saya tak sabar.
“O, ya?” tukas Si Kekar. Maka kami pun lalu terlibat dalam percakapan tentang orang-orang dan tempat-tempat di Micronesia yang kami kenali bersama.
“What a small world!” komentar Pak Bluejay dari seberang meja. Sekarang ini Si Kekar melayani rute London-Paris, dan kadang-kadang rute Houston-Honolulu. Si Kekar itu ternyata bernama David Nelson, dan saya memanggilnya Dave.
“Are you really a Jesuit Priest?” tanya Dave yang asli New Orleans itu.
“Iya. Kenapa?”
Dave berhenti sejenak, lalu melanjutkan: “Yah, beberapa waktu terakhir ini saya banyak bicara dengan Romo Marvin Kitten SJ, Ketua urusan panggilan hidup membiara untuk Wilayah New Orleans.”
Ia berhenti lagi, lalu berbisik penuh senyum: “Saya sedang tertarik untuk jadi pastor Jesuit.”
Saya sempat kaget dan terharu mendengar hal itu. Sebelum saya sempat bereaksi Dave melanjutkan kata-katanya: “Saya perlu bicara lebih lanjut denganmu. Bagaimana kalau besok kita makan malam bersama?” Saya menyetujui undangan Dave ini.
Tak lama kemudian kami pun bersiap-siap untuk pulang.
Menjelang pulang Si Pirang menyempatkan diri untuk mendekati saya. “Maaf ya, tadi saya omong kotor,” katanya. (Maksudnya tentu saja bahwa tadi ia berteriak “Oh, sh*#@!” ketika dia mengetahui bahwa saya ini Jesuit).
“Ah, tidak apa-apa,” kata saya.
Ia melanjutkan, “Saya hanya ingin minta maaf dan mencabut kata-kata tak pantas itu. Maaf.”
Wah, ternyata Si Pirang berombak yang saya duga bertingkah sedikit nakal itu ternyata berhati lembut.
Di dekat pintu keluar Bluejay masih menyempatkan diri bertemu saya. Ia lantas memperkenalkan saya dengan seorang Ibu muda yang bertugas di bagian minuman.
“He is a Jesuit Priest from Indonesia,” kata Bluejay pada Ibu itu.
“O, ya?” tukas sang Ibu, meskipun belum tentu ia tahu apa yang dimaksud dengan “Jesuit” itu. Tapi rupa-rupanya kata “Indonesia” mengingatkan dia pada gagasan mengenai “luar negeri.”
“My son is also abroad now,” katanya, “He is in Russia for a student-exchange program.”
Kami lalu menjadi akrab, dan Ibu itu lantas merogoh tas kecilnya guna menunjukkan foto-foto ketiga anaknya yang tampak sehat-sehat dan menyenangkan itu. “Untuk merekalah saya harus bekerja keras begini ini tiap hari,” katanya menutup percakapan.
Di tempat parkir John Zutavern sudah menunggu saya dan Dave. Kami diantar pulang ke tempat tinggal masing-masing. Belakangan saya tahu bahwa selain menjadi City Commissioner, John adalah juga Ketua dari Dewan Kota-kota Kecil (kota-kota berpenduduk di bawah 50.000 orang). Kalau tak salah ia membawahi wilayah Nebraska, Kansas, Missouri, dan Illinois. Tak mengherankan kalau mobil yang dipakai untuk mengantar-jemput kami ini adalah mobil sport putih bagus, bermerek Cadillac. “Wah mobilmu bagus sekali, John” kata saya. Dengan tenang John menyanggah, “Ini bukan mobil saya; ini mobil istri saya.”
Bermimpi
Kira kira jam 21:30 saya tiba di Pastoran kembali. Tak lama kemudian saya pun bersiap untuk pergi tidur. Tapi bahkan sebelum tidur saya sempat bermimpi. Saya bermimipi, alangkah indahnya jika dusun kampung halaman saya juga penuh dengan orang-orang seperti mereka yang saya jumpai hari ini: serba berkecukupan tapi tetap suka menolong orang lain (bahkan kalau mereka ini orang yang tak dikenal sebelumnya); bukan penduduik asli tapi tak enggan berkorban dan bekerja keras demi pelestarian nilai-nilai sejarah lokal; bertubuh kekar tapi bersemangat mengabdi; tampak bertingkah laku nakal tapi berhati lembut; berkedudukan tinggi tapi rendah hati; tak seagama api saling menghormati dan membantu. Saya juga bermimpi bahwa dusun kampung halaman itu tak lagi dipenuhi dengan orang-orang seperti saya ini: kelihatan alim tapi munafik; kelihatan bersahabat tapi tidak selalu gampang menolong; mengagung-agungkan “nilai ketimuran” tapi prakteknya berbeda, dan sebagainya. Saya bermimpi.
MUNGKIN SAJA di dunia ini persahabatan itu tak mudah dicari, begitu pikiran saya menerawang malam itu. Mungkin Francis Bacon benar, kalaupun ada hanya sedikit jumlahnya. Meskipun demikian, jika kita bersedia membuka diri dan mau mendengarkan orang-orang di sekitar kita, tampaknya uluran persahabatan bisa saja datang dengan tiba-tiba dan tanpa diundang, melampaui berbagai sekat dan batas-batas. Selanjutnya kita bisa berjumpa dengan orang-orang yang meskipun baru saja ketemu namun ternyata rela berbagi pengalaman dan banyak pesan kehidupan. Tak ada lagi sikap memandang rendah satu sama lain. Mungkin saja dalam banyak hal mereka berbeda dengan kita, namun ternyata menjadi mungkin pula bahwa mereka bersedia meretas perbedaan dan batas-batas yang sering digunakan untuk memisah-misahkan kita. Mungkin. Setidaknya itulah yang saya alami di Kansas.
Malam makin larut. Hari pertama di Kansas segera berlalu. Selamat malam semuanya, perkenankan saya melanjutkan mimpi itu…
Catatan:
[1] Awalnya tulisan ini pernah dimuat di Baskara T. Wardaya, Chicago-Chicago (Yogyakarta: Galangpress, 2006).
[2] Francis Bacon, “On Followers and Friends”, dalam Essays (1625).
Baskara T. Wardaya memperoleh gelar doktor dari Marquette University, Milwaukee, WI, Amerika Serikat dan sekarang mengajar di jurusan sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia. Baskara T. Wardaya juga menulis banyak buku tentang peranan Perang Dingin terhadap sejarah Indonesia.
Copyright@2017StoryLighthouse